Oleh : BM Lukita Grahadyarini
Menurut Arinafil, Indonesia punya kekayaan keragaman hayati yang luar biasa. Jika digunakan secara optimal, hal itu akan memberikan lebih banyak manfaat bagi manusia dan lingkungan.
Ia menelusuri, dari 37.000 spesies flora Indonesia yang telah diidentifikasi, baru sekitar satu persen yang dimanfaatkan untuk biopesti-sida. Berlandaskan hal itu, pria yang menjadi pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, ini giat menggali kegunaan tana-man bagi pemberantasan hama.
Sejak 1997 Arinafil membuat ekstrak tanaman untuk biopestisida. Biopestisida yang dia ciptakan memiliki kegunaan mematikan, menghalau, serta menghambat perkembanagan ulat dan serangga yang menjadi hama pada tanaman dan tempat penyimpanan makanan. Selain itu, juga meng-hambat penetasan telur pada keong mas yang kerap menjadi hama padi.
Sebagian tanaman yang diolah menjadi biopestisida merupakan tanaman yang banyak ditemukan dan dipelihara masyarakat. Dalam proyek-proyek penelitian, ia kerap melibatkan para mahasiswa.
Tahun 1997 itu pula ia membuktikan khasiat ekstrak jahe dan temu putih untuk menghambat serangan ulat kubis (Plutella xylostella Linn). Daun kubis yang diberi ekstrak itu akan menjadi toksin atau racun yang mematikan ulat.
Ia juga membuat ekstrak tanaman dari temu putih, biji nimba, daun kenanga, biji selasih, serta daun avokat yang masing-masing berfungsi mencegah serangan kutu pada tempat penyimpanan beras dan kacang-kacangan. Beberpa jenis kacang-kacangan, seperti kacang hijau, kedelai, kacang merah, dan kacang tanah, yang dilumuri ekstrak tersebut akan awet disimpan sampai enam bulan.
Khasiat serupa ditemukan pada tanaman bawang putih, bunga kemuning, kulit jeruk, lengkuas, kunyit, temu hitam, cabai merah, tembakau, dan kulit duku. Cairan ekstrak bunga kemuning bahkan efektif mematikan kumbang kacang hanya dengan kadar 1,12 persen.
Beberapa ekstrak yang dihasilkan juga memiliki kegunaan lebih. Ekstrak bunga kenanga, lengkuas, jahe, kunyit, umbi bawang putih, dan daun nimba tidak menghambat perkecambahan benih kacang hijau sehing-ga aman untuk ditanam meskipun disimpan dalam waktu lama.
Pembuatan ekstrak tanaman dilakukan secara sederhana, meliputi metode tepung, rendam, pasta, dan campuran air. Pada ekstraksi jahe yang menggunakan metode tepung, rimpang jahe dibersihkan, dikupas, dan di-haluskan menjadi tepung. Kemudian, serbuk jahe dicampur dengan beras atau kacang-kacangan guna mempertahankan masa penyimpanan makanan tersebut.
Jahe juga bisa diolah melalui metode pasta. Jahe yang sudah dihaluskan dicampur air agar membentuk adonan, lalu dimasukkan ke kantong dan diperas. Ke dalam cairan perasan dicelupkan beras dan kacang-kacangan.
Pada tahun 1998 ia membuktikan, campuran ekstrak serai wangi, biji nimba, dan lengkuas yang disemprotkan pada belalang kembara (Locusta migratoria) muda akan mematikan hama itu hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Cairan ekstrak dari tiga tanaman tersebut meracuni jaringan sel serangga yang ganas menyerang hamparan padi dan perkebunan di Nusa Tenggara Timur pada kurun 1998 – 2007.
Tahun 1999 ia kembali membuat cairan ekstrak biji nimba yang memiliki daya untuk mematikan 70 persen telur keong mas yang banyak terdapat di daun padi dan tunggul-tunggul sawah. Ekstrak yang disemprot ke kumpulan telur keong mas merusak sel-sel telur dan memutus per-kembangbiakkan hewan yang kerap merusak tanaman padi itu.
Pada tahun 2001 ia diminta membantu pencegahan hama kutu daun pada tanaman kacang pea, sejenis kacang kapri yang tumbuh di Jerman. Untuk keperluan itu, ia memanfaatkan cairan ekstrak lengkuas.
“Ekstrak lengkuas bersiaft sistemik, diserap akar tanaman, dan dibawa ke jaringan daun. Ekstrak racun yang terkandung dalam daun akan mencegah serangan kutu daun,” papar Arinafril.
Di atas semua penelitian itu, pria yang menjabat Ketua Laboratorium Toksikologi Pestisida Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsri ini memiliki Obsesi menularkan teknologi sederhana pembuatan ekstrak tanaman kepada para petani di Indonesia.
Murah dan aman
Ia berharap teknologi ekstraksi tanaman dapat ditiru petani. Ini untuk mengurangi ketergantungan petani pada pestisida sintetis yang harganya lebih mahal dan berpotensi meninggalkan sisa racun (residu) pada tanaman pangan sehingga membahayakan tanaman dan kesehatan konsumen. Namun, itu pun masih menjadi kendala karena kurangnya sarana penyebaran informasi kepada petani.
Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak meracuni tanaman dan mencemari lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara terus-menerus juga diyakini tak menimbulkan resisten pada hama, seperti yang biasa terjadi pada pestisida sintetis.
“Jangan dulu membeli obat-obatan atau pestisida selagi masih bisa membuat biopestisida dengan memanfaatkan bahan baku dari alam,” kata Arinafril.
Pria ini berpandangan, masih banyak tanaman Indonesia yang berpeluang besar untuk dimanfaatkan sebagai obat pemberantas hama. “Tanaman yang semasa tumbuhnya tidak diserang hama berpotensi me-miliki kandungan senyawa yang memberi efek racun pada hama. Jika potensi itu digali, banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk mengusir hama pada tanaman lain,” kata ayah tiga anak ini.
Beberapa penelitiannya di luar negeri terkait dengan pemberantasan hama telah teruji. Tahun 1993-1994 ia menggunakan ekstrak biji tanaman nimba untuk mengendalikan belalang gurun (Schiftocerca gregaria) yang banyak hidup di Afrika. Beberapa negara yang pernah di singgahinya untuk penelitian antara lain Jerman dan Australia.
September 2007 ini, Arinafril diminta melakukan penelitian di Clemson University, Amerika Serikat, untuk mengatasi hama ulat tentara pada tanaman kacang kedelai. Berkaitan dengan penelitian itu, ia berencana menggunakan ekstrak tanaman jahe-jahean.
Bagi Arinafril, penelitian selayaknya dilakukan secara kontinu agar hasilnya bisa dikembangkan optimal. Sayangnya, penelitian di Indonesia kerap terbentur dana akibat minimnya perhatian dan dukungan pemerintah. “Keterbatasan dana menyebabkan peneliti terpaksa mengakhiri suatu penelitian setelah proyek penelitian itu usai sehingga kontinuitasnya kurang. Hasil penelitian pun tak bisa dikembangkan maksimal,” ungkapnya