Dua tong sampah di teras rumah Sudarno di Surabaya memang lain. Walaupun berisi sampah organik, saat tutupnya dibuka tak tercium aroma menyengat khas sampah. Bahkan, lalat pun enggan hinggap di sekitarnya.
Oleh MARULI FERDINAND
Sudarno menamai tong ciptaannya itu “Tognopos”, singkatan dari Tong Darno Kompos. Sesuai dengan namanya, tong itu diciptakan untuk mengambil air lindi (air sampah) yang dijadikan pupuk cair. Air itu keluar dari keran yang desediakan guna menghasilkan pupuk cair. Untuk itu, sampah organik harus dibiarkan selama sebulan. Tutup tong mesti rapat agar tak banyak udara bebas yang masuk.
Ke dalam Tongnopos, Sudarno menyemprotkan cairan MBS, singkatan “manis bara Sudarno”, juga ciptaannya. Manis, karena bahan dasar cairan berasal dari tebu muda dan Bara, karena tebu itu dibakar. Tebu bakar lalu digiling dan cairannya dijadikan MBS. Cairan itulah yang menghilangkan bau sampah organik dan membuat alergi lalat dan kecoak. MBS juga bisa menghilangkan bau tak sedap lainnya, seperti bangkai dan kotoran hewan. “Sama sekali tak ada zat kimia dalam MBS, begitu juga Tongnopos,” ujarnya.
Sudarno juga mencampurkan gas minyak dalam MBS. Ini untuk menghindari pedagang ayam nakal, yang mungkin menjual bangkai ayam tak berbau dengan menyemprotkan MBS. Bau gas minyak tak hilang meski ayam dimasak hingga matang. Dengan begiru, orang enggan membeli ayam mati yang berbau gas minyak. Kalaupun ada orang yang terlanjur memakannya, gas itu tak berbahaya.
Sebelum menciptakan Tongnopos dan MBS, Sudarno lebih dulu membuat Batem alias Bata daleme macem-macem. Bata berwarna putih itu merupakan campuran pasir, semen, juga sampah, baik yang mudah maupun sulit terurai. Sampah itu diantaranya plastik, stirofom, kardus, hingga kulit padi. Bata temuan dia kini tersebar di Jawa Timur, Bali, dan Jakarta.
Berkat berbagai penemuan itu, pada 5 Juni 2007 dia mendapat penghargaan Kalpataru tingkat Nasional.
Tong pembakaran
Bapak empat anak ini bukan orang yang mendalami sampah secara akadimis. Semua bermula sikitar tahun 1999-2000 ketika dia bertugas di dinas Perumahan dan Penyehatan Lingkungan Kota Surabaya. Sudarno berpikir, apa pun tugas ang diemban dinas itu, pasti tak jauh dari persoalan sampah.
Suatu hari dia berjalan-jalan ke tempat pembuangan akhir (TPA) yang berlokasi di Keputih. Di tempat itu dia melihat mesin pembakaran sampah yang berjalan “setengah-setengah”. Mesin itu berjalan hanya jika ada kunjungan para pejabat pemerintah kota. Selebihnya, hanya pemulung yang duduk-duduk di sekitar. Belum lagi bau sampah yang menyengar, bahkan jauh sebelum masuk areal TPA.
“Seharusnya saya sebagai orang teknik bisa menciptakan alat pembakaran sampah yang setiap saat berfungsi dan bisa mendaur ulang semua jenis sampah,” tutr lulusan D-3 institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jurusan Konstruksi ini.
Maka, Sudarno mulai bereksperimen di rumahnya. Sebuah dandang nasi milik istrinya dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi tempat pembakaran sampah. Dandang itu ditutup rapat-rapat. Alat tersebut memang bisa membakar semua jenis sampah, organik dan non organik. Sayang, umurnya hanya tiga bulan, dandang itu lalu meledak.
Akan tetapi, dia tak patah semangat. Ia terus mencoba membuat tempat pembakaran yang lebih besar. Kali ini Sudarno menggunakan sebuah tong yang biasa dipakai menyimpan oli atau minyak tanah. “Saya menduga, dandang meledak karena suhu di dalam terlalu tinggi. Lagi pula tak ada tempat keluar asapnya,’ katanya.
Belajar dari pengalaman, ia memanfaatkan sebuah pipa agar asap pembakaran bisa keluaar. Ciptaannya sukses. Namun, para tetangganya keberatan sebab asap yang keluar sangat mengganggu. Dia pun berhenti bereksperimen dengan tong dan mulai membuat Batem.
Tayangan televisi
Tahun 2004 Sudarno melihat tayangan televisi yang menyorot masalah sampah di Surabaya. Saat itu dia berkantor di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Dia melihat seorang anak sedang belajar di atas tumpukan sampah dengan masker menutup hidung dan mulut. Cukup lama juru kamera mengambil adegan itu. Ditampilkan pula gambar beceknya jalanan di sekitar lokasi karena rembesan air sampah.
“Saya tertegun melihat gambar itu, bagaimana anak-anak bisa pintar kalau belajar di tempat yang bau? Pasti akhirnya mereka memilih tidak belajar,” katanya.
Dia kembali bereksperimen dengan tebu untuk menghilangkan bau sampah. Setahun kemudian MBS berhasil diciptakan. Untuk menguji coba cairan penghilang segala bau itu, ia bergerilya keliling kampung, menyemprotkannya pada tong sampah millik para tetangga. Ini dia lakukan hampir tiap pagi.
Said Munaji, tetangganya, berujar, “Rupanya dulu Bapak nyemprot sampah saya dengan cairan itu, pantas tiba-tiba tong sampah saya tidak bau, tidak ada lalatnya.”
Said bercerita, tak banyak tetangga yang tahu kalau Sudarno punya cairan ajaib penghilang bau. Namun, para tetangga tak keberatan ketika Sudarno mengubek-ubek sampah mereka dan menyemprot di sana-sini. Warga umumnya tak peduli dengan sampah.
Sekarang MBS sedang dalam proses paten. Begitu manjurnya MBS, beberapa perusahaan sampai memesan cairan itu dalam jumlah besar.
Pada saat yang sama Sudarno juga bereksperimen membuat Tongnopos. Dia kerap meminta hingga berkarung-karung sampah organik milik para tetangga untuk dijadikan pupuk cair yang diolah dalam tongnopos. Logika yang dipakai Sudarno sederhana, “Air sampah organik itu bukan racun karena kebanyakan sayur-sayuran yang biasa kita makan.”
Air yang keluar dari Tongnopos bisa disiram pada tanaman. Fung-sinya menyuburkan tanaman. Sekarang MBS sedang dalam proses paten. Begitu manjurnya MBS, beberapa perusahaan sampai memesan cairan itu dalam jumlah besar.
Sembari terus bereksperimen mengolah sampah, Sudarno juga mewariskan pengetahuan itu kepada masyarakat. Dia kerap di undang ke berbagai tempat untuk mengajarkan cara pembuatan Batem. Baginya, apa yang di lakukan itu hanya “secuil kuku” untuk sebuah upaya raksasa memberantas sampah di negeri ini. Semoga saja pemerintah mau serius mengurus sampah menjadi benda yang bermafaat.