Harian Umum Tabengan,
Sekalipun Palangka Raya sudah diplot Pemerintah Provinsi Kalteng sebagai basis pengembangan perdagangan dan jasa, tidak menutup kemungkinan wilayah ini menjadi daerah pertanian dan sentra pengembangan agribisnis ke depan. Apa sebab?
Sepetak lahan yang berada di sekitar Terusan Jalan Tingang, Lingkar Luar Jalan Mahir Mahar, seluas 8.000 meter persegi ternyata bisa disulap menjadi lahan subur tanaman tomat.
Pemilik lahan itu bernama Tamiang, seorang staf PNS pada Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kalteng yang tidak hanya sekadar menjadi penyuluh, tapi mau menjadi pelaku agribisnis itu sendiri. Ia punya misi mengajak dan membina para petani lokal sekitar untuk mengembangkan tanaman hotrikultura.
Bagi Tamiang, niat mengembangkan agribisnis ini dilandasi suatu tekad menjadikan Palangka Raya tidak hanya dikenal sebagai kota pengimpor bahan makanan, khususnya sayur-mayur dan buah-buahan. Sebagai langkah awal, ia mulai dengan pengembangan tanaman tomat, varietas Tomdhari dan Agnes.
Ketika Tabengan mendatangi areal milik Tamiang, Jumat (3/12) sore, seakan terhenyak dari kejauhan melihat sekitar 20 bedeng bidang penanaman sudah tergelar dengan dibungkus lembar-lembar plastik.
Pada setiap bedeng yang ditanami sekitar 50 batang pohon tomat itu, betapa terkejutnya mata mendapati buah-buah tomat segar yang baru dibasuh curah hujan yang bergelantungan pada setiap tangkai.
Berat-berat buah tomat itu, sekalipun masih berwarna hijau muda, tapi jelas sekitar setengah hingga satu ons. Tamiang mengatakan, sekitar dua minggu lagi semua buah itu akan memasuki masa panen.
Apa resep sehingga semua hal yang tadinya dianggap mustahil itu bisa terwujud? Tamiang dan kawan-kawannya dari gabungan kelompok tani (Gapoktan) Suka Maju, yang menghimpun sekitar 20-an anggota itu, menggunakan formula pupuk organik bio-aktiva EKD. Formula pupuk itu yang baik digunakan untuk akar dan daun tanaman tak seujung kuku pun mengandung unsur kimiawi. Semua bahannya menggunakan aneka jenis tumbuh-tumbuhan yang difermentasi dengan metode pembuatan yang sangat mudah.
Tamiang menyebut, dalam sesi wawancara di rumah batu yang didirikan di depan arealnya, total biaya pengerjaan dan penanaman tidak lebih dari Rp10 juta. Jika diasumsikan, sebagaimana terungkap dalam pembicaraan, satu pohon bisa menghasilkan hingga 5kg tomat seharga rata-rata Rp10 ribu, maka untuk setiap bedengnya akan menghasilkan keuntungan bersih hingga Rp20 juta.
Angka itu nyaris 1.500 persen modal jika memang dipakai pendekatan benefit cost ratio (BCR). Sementara di lokasi tersebut terdapat sekitar 20-an bedeng. Bayangkan, apakah ini bukan suatu bisnis yang menjanjikan dan sehat?
Sehat, mengapa soal yang satu ini harus jadi pertimbangan lagi? Ermina Komala Dara, sang penemu formula pupuk bio-aktiva EKD mengatakan, di kemudian hari pasar akan mengisyaratkan permintaan besar terhadap produk-produk organik. Keuntungan dari bisnis tanaman yang berlabel organik akan lebih dilirik oleh pasar yang semakin selektif dengan isu-isu kesehatan makanan. Kelebihan dari tomat-tomat organik Tamiang, di samping volume buahnya sendiri berbobot, juga jelas bebas agregat kimiawi yang akan membahayakan tubuh ketika mengonsumsi sayur-mayur dan buah-buahan yang dipupuk dengan bahan kimiawi. Di samping memang pemakaian pupuk kimiawi sangat tak ramah lingkungan.
Pendapat lain dikemukakan sendiri oleh Marwoto, Ketua Gapoktan Suka Maju. Apa yang sudah mereka ujicobakan dari penggunaan formula pupuk EKD ini sangat jelas tampak dari tanaman sayur kangkungnya. Tampilan daun kangkung yang kelihatan segar dan tak gampung layu, dibuktikannya dibeli oleh pedagang jauh sebelum panen terjadi. Sekarang di atas lahannya sendiri di kawasan Lingkar Luar Mahir Mahar, ia kembali menguji coba formula EKD untuk jenis tanaman cabe merah. Bagi Marwoto, menjadi petani dengan pendekatan teknologi bio-aktiva seperti yang dialaminya ini merupakan suatu pengalaman yang sangat indah.
Bagaimana soal hama dan penyakit? Tamiang dan Marwoto mengakui, sejak menggunakan formula EKD tak ada hama dan penyakit yang menyerang tanaman-tanaman mereka. Bahkan seekor lalat pun, sebagai carrier pembawa penyakit tanaman, tak terlihat di sekitar areal penanaman. Hal itu menandakan formula EKD efektif menjadi pengusir penyakit selain menyuburkan tanaman itu sendiri.
Inilah langkah awal bagi sebuah harapan menjadikan Palangka Raya secara khusus dan Kalteng secara umum raksasa agribisnis di Indonesia. Memang, saat ini sang raksasa itu masih tertidur pulas, tapi ketika ia bangun tak akan ada yang sanggup menundukkannya. Yakinlah. christian p sidenden